MENGAPA BUNDA MARIA DI SEBUT HAWA YANG BARU?

Mengapa Bunda Maria disebut sebagai Hawa yang baru?
By: SUARA KATOLIK

Bunda Maria disebut sebagai Hawa yang baru, sebab seperti halnya Hawa, Bunda Maria memainkan peran yang penting dalam sejarah keselamatan manusia. Hawa, adalah manusia ...
perempuan pertama yang oleh ketidaktaatannya membawa maut ke dunia, sedangkan Bunda Maria, oleh ketaatannya melahirkan Sang Hidup ke dunia. Perbandingan antara Hawa dengan Bunda Maria sebagai ‘Hawa yang Baru’- tidak berdiri sendiri, melainkan sebagai kesatuan dengan perbandingan antara Adam dengan Kristus yang disebut sebagai ‘Adam yang baru’ (lih. Rom 5:12-21, 1 Kor 15:21). Jadi sama seperti bahwa ada keterlibatan Hawa, sehingga Adam jatuh ke dalam dosa, dan menurunkan dosa asal tersebut kepada semua umat manusia, maka demikian pula, ada keterlibatan Hawa yang baru yaitu Bunda Maria, sehingga Adam yang baru (Kristus) dapat lahir ke dunia untuk menghapus dosa manusia. Maka tepat jika dikatakan bahwa oleh Hawa, umat manusia jatuh dalam dosa, dan karena itu dalam kuasa maut; sedangkan oleh Maria, umat manusia menerima penghapusan dosa, dan karena itu menerima kehidupan kekal.

Hawa, terpedaya oleh bujukan Iblis, sehingga ia tidak taat kepada kehendak Tuhan, sedangkan Bunda Maria percaya oleh pemberitaan Malaikat, sehingga ia taat akan kehendak Tuhan. Maka St. Irenaeus mengatakan bahwa ikatan ketidaktaatan Hawa, yaitu belenggu dosa yang mengikat manusia karena ketidaktaatannya kepada Allah, diuraikan oleh ketaatan Bunda Maria. Harus diakui, bahwa pada awal mula, meskipun Adam juga berdosa, namun dosanya dilakukan setelah Hawa terlebih dahulu jatuh dalam dosa ketidaktaatan kepada kehendak Allah. Oleh karena itu, pada saat penebusan dosa, “obat penawar”nya adalah kondisi lawannya, yaitu diawali dengan ketaatan Maria, sang Hawa yang baru, kepada kehendak Allah (lih. Luk 1: 38) maka Kristus sebagai Adam yang baru dapat datang ke dunia oleh ketaatan-Nya kepada kehendak Allah Bapa (lih. Ibr 10:5-7).

Cara menginterpretasikan Kitab Suci dengan cara tipologis seperti ini, yaitu membandingkan penggambaran Perjanjian Lama dengan penggenapannya di dalam Perjanjian Baru, diajarkan oleh Kristus sendiri. Contohnya adalah Kristus mengatakan bahwa Ia merupakan penggenapan dari tanda Yunus (lih. Luk 11:30); pengorbananNya di kayu salib merupakan penggenapan akan gambaran ular tembaga yang ditinggikan di tiang oleh Musa (Yoh 3:14; Bil 21:8-9); dan penjelasan-Nya kepada kedua murid-Nya di perjalanan ke Emaus tentang penggenapan Kitab Suci Perjanjian Lama di dalam diri-Nya (lih. Luk 24:13-35). Penggenapan Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru ini juga diajarkan oleh para murid, seperti Rasul Petrus menghubungkan bahtera Nuh dengan Baptisan (lih. 1 Pet 3:18-22); Rasul Paulus menghubungkan perjamuan Paskah dengan kurban Kristus (lih. 1 Kor 5:7), dan Adam (manusia pertama) dengan Kristus sebagai Adam yang baru (lih. Rom 5:12-21). Maka tak mengherankan bahwa Tradisi Suci para Rasul dan para Bapa Gereja juga mengajarkan bahwa Bunda Maria adalah Hawa yang baru. Dengan demikian, penggambaran rencana keselamatan Allah yang samar-samar dinyatakan di dalam Perjanjian Lama, kemudian digenapi di dalam Perjanjian Baru.


Dasar Kitab Suci

Rom 5:12-21, 1 Kor 15:21: Kristus sebagai Adam yang baru:
Luk 1:38: Ketaatan Maria membuka jalan bagi ketaatan Yesus. Oleh perkataan Maria, “Jadilah padaku menurut perkataanmu.” Kristus masuk ke dunia melakukan kehendak Bapa (lih. Ibr 10:5-7)


Dasar Tradisi Suci

St. Yustinus Martir (155): “Ia menjadi manusia melalui Sang Perawan, agar ketidaktaatan yang terjadi dari sang ular dapat dihancurkan dengan cara yang sama seperti pada awalnya. Sebab Hawa, yang adalah seorang perawan dan tidak bernoda, yang percaya pada perkataan sang ular, membawa ketidaktaatan dan maut. Tetapi Perawan Maria menerima dengan iman dan suka cita, ketika Malaikat Gabriel memberitakan Kabar Gembira kepadanya bahwa Roh Kudus Tuhan akan turun atasnya dan kuasa yang Maha Tinggi akan menaungi dia: sehingga Yang Kudus yang dilahirkannya adalah Putera Allah; dan ia menjawab, “Jadilah padaku menurut perkataan-mu.” Dan melaluinya[Maria] Yesus telah lahir…” (St. Justin Martyr, Dialogue with Trypho, 100).

St. Irenaeus (180): “Sesuai dengan rencana ini, Perawan Maria taat, dengan berkata, “Aku ini hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu.” Tetapi Hawa tidak taat; sebab ia tidak taat ketika ia masih perawan. Dan bahkan ketika ia, yang memang telah bersuami, namun masih perawan …., yang menjadi tidak taat, menjadi sebab kematian, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi seluruh umat manusia. Juga Maria, yang telah bertunangan, meskipun ia perawan; dengan ketaatan, menjadi sebab keselamatan, baik bagi dirinya maupun seluruh umat manusia…. Juga Lukas, memulai silsilah dari Tuhan Yesus, sampai kembali ke Adam, menunjukkan bahwa hanya Dia [Tuhan Yesus] yang melahirkan mereka kembali ke dalam Injil kehidupan, dan bukan mereka yang melahirkan-Nya. Dan dengan demikian, ikatan ketidaktaatan Hawa telah dilepaskan dengan ketaatan Maria. Sebab apa yang telah diikat kuat oleh perawan Hawa melalui ketidakpercayaannya, telah diuraikan oleh Perawan Maria melalui iman.” (St. Irenaeus, Against Heresy, 3:22)

Tertullian (212): ” Sebab ketika Hawa masih perawan, perangkap kata-kata telah masuk ke dalam telinganya yang membangun kematian. Maka serupa dengan itu, ke dalam jiwa seorang perawan, harus diperkenalkan kata-kata Sabda Allah yang membangun jalinan kehidupan; sehingga apa yang telah dihancurkan oleh jenis kelamin ini dapat, oleh jenis kelamin yang sama, dipulihkan kepada keselamatan. Seperti Hawa telah percaya kepada sang ular, Maria percaya kepada sang Malaikat. Pelanggaran yang terjadi karena seorang telah percaya [kepada sang ular], oleh seorang yang lain dihapuskan karena percaya [kepada malaikat]. (Tertullian, Flesh of Christ, 17)


Dasar Magisterium

Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Gereja, Lumen Gentium:

“Atas titah Allah ia[Maria] diberi salam oleh Malaikat pembawa Warta dan disebut “penuh rahmat” (Luk 1:38). Demikianlah Maria Puteri Adam menyetujui sabda ilahi, dan menjadi Bunda Yesus. Dengan sepenuh hati yang tak terhambat oleh dosa mana pun ia memeluk kehendak Allah yang menyelamatkan, dan membaktikan diri seutuhnya sebagai hamba Tuhan kepada pribadi serta karya Putera-Nya, untuk di bawah Dia dan beserta Dia, berkat rahmat Allah yang mahakuasa, mengabdikan diri kepada misteri penebusan. Maka memang tepatlah pandangan para Bapa suci, bahwa Maria tidak secara pasif belaka digunakan oleh Allah, melainkan bekerja sama dengan penyelamatan umat manusia dengan iman serta kepatuhannya yang bebas. Sebab, seperti dikatakan oleh St. Ireneus, “dengan taat Maria menyebabkan keselamatan bagi dirinya maupun bagi segenap umat manusia.” Maka tidak sedikitlah para Bapa zaman kuno, yang dalam pewartaan mereka dengan rela hati menyatakan bersama Ireneus: “Ikatan yang disebabkan oleh ketidak-taatan Hawa telah diuraikan karena ketaatan Maria; apa yang diikat oleh perawan Hawa karena ia tidak percaya, telah dilepaskan oleh perawan Maria karena imannya.” Sambil membandingkannya dengan Hawa, mereka menyebut Maria “bunda mereka yang hidup”.

Sering pula mereka menyatakan: “maut melalui Hawa, hidup melalui Maria.”[4]. (LG 56)

“Sebab dalam iman dan ketaatan ia melahirkan Putera Bapa sendiri di dunia, dan itu tanpa mengenal pria, dalam naungan Roh Kudus, sebagai Hawa yang baru, bukan karena mempercayai ular yang kuno itu, melainkan karena percaya akan utusan Allah, dengan iman yang tak tercemar oleh kebimbangan. Ia telah melahirkan Putera, yang oleh Allah dijadikan yang sulung di antara banyak saudara (Rom 8:29), yakni Umat beriman. Maria bekerja sama dengan cinta kasih keibuannya untuk melahirkan dan mendidik mereka.” (LG 62)


Katekismus Gereja Katolik: 411, 726, 2618, 2853, 129.

KGK 411 Tradisi Kristen melihat dalam teks ini pengumuman tentang “Adam baru” (Bdk. 1 Kor 15:21-22.45) yang oleh “ketaatan-Nya sampai mati di salib” (Flp 2:8) berbuat lebih daripada hanya memulihkan ketidak-taatan Adam (Bdk. Rm 5:19-20). Selanjutnya banyak Bapa Gereja dan pujangga Gereja melihat wanita Yang dinyatakan dalam “protoevangelium” adalah Bunda Kristus, Maria, sebagai “Hawa baru”. Kemenangan yang diperoleh Kristus atas dosa diperuntukkan bagi Maria sebagai yang pertama dan atas cara yang luar biasa: ia dibebaskan secara utuh dari tiap noda dosa asal (Bdk. Pius IX: DS 2803). dan oleh rahmat Allah yang khusus ia tidak melakukan dosa apa pun selama seluruh kehidupan duniawinya (Bdk. Konsili Trente: DS 1573).

KGK 726 Pada akhir perutusan Roh, Maria menjadi “wanita”; Hawa baru, “bunda orang-orang hidup”, bunda “Kristus paripurna ” (Bdk. Yoh 19:25-27). Dalam kedudukan itu ia bersama dengan keduabelasan “sehati bertekun dalam doa” (Kis 1:14), ketika Roh Kudus pada pagi hari Pentekosta menyatakan awal “zaman terakhir” dengan memunculkan Gereja.

KGK 2618 Injil menyatakan kepada kita, bagaimana Maria berdoa dan menjadi perantara dalam iman: di Kana (Bdk. Yoh 2:1-12) ibu Yesus meminta apa yang dibutuhkan untuk perjamuan perkawinan. Perjamuan ini adalah tanda bagi satu perjamuan lain: yakni perjamuan perkawinan Anak Domba, di mana Kristus, atas permohonan Gereja sebagai mempelai-Nya, menyerahkan tubuh dan darah-Nya. Pada saat Perjanjian Baru, Maria didengarkan pada kaki salib. Karena ia adalah wanita, Hawa baru, “ibu semua orang hidup”, yang benar.

KGK 2853 Pada saat Yesus menerima kematian dengan sukarela guna memberikan kehidupan-Nya kepada kita, kemenangan diperoleh atas “penguasa dunia” (Yoh 14:30) satu kali untuk selama-lamanya. Itulah pengadilan atas dunia ini, dan penguasa dunia ini “dilemparkan ke luar” (Yoh 12:31, Bdk. Why 12:11). Ia “memburu wanita itu” (Bdk. Why 12:13-16), tetapi ia tidak berkuasa atasnya; Hawa baru yang “terberkati” oleh Roh Kudus, dibebaskan dari dosa dan dari kebusukan kematian (karena dikandung tanpa noda dosa dan karena sebagai Bunda Allah yang selalu perawan, Maria diangkat ke dalam surga). “Maka marahlah naga itu kepada perempuan itu, lalu pergi memerangi keturunannya yang lain” (Why 12:17). Karena itu Roh dan Gereja berdoa: “Datanglah, ya Tuhan Yesus” (Why 22:20, Bdk. Why 22:17), karena kedatangan-Nya akan membebaskan kita dari yang jahat.

KGK 129 Jadi umat Kristen membaca Perjanjian Lama dalam terang Kristus yang telah wafat dan bangkit. Pembacaan tipologis ini menyingkapkan kekayaan Perjanjian Lama yang tidak terbatas. Tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa Perjanjian Lama memiliki nilai wahyu tersendiri yang Tuhan kita sendiri telah nyatakan tentangnya (Bdk. Mrk 12:29-31). Selain itu Perjanjian Baru juga perlu dibaca dalam cahaya Perjanjian Lama. Katekese perdana Kristen selalu menggunakan Perjanjian Lama (Bdk. 1 Kor 5:6- 8; 10:1-11.)

Sesuai dengan sebuah semboyan lama Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru: “Novum in Vetere latet et in Novo Vetus patet.” (Agustinus, Hept. 2,73, Bdk. Dei Verbum 16)


Sumber: katolisitas.org


-Honorem Gloriam Deo

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sederet Puisi Kurangkaikan Untukmu "JUNI”

MENGENANG GETSEMANI