MENGENANG GETSEMANI



MENGENANG GETSEMANI


Di batas senja ini, di batas kota ini, aku merindukanmu, aku mengenangmu. Getsemani, pemilik hatiku, pemilik cintaku. Bayanganmu tak kunjung pergi dari pelupuk mataku. Suaramu tak kunjung sirna dari daun telingaku. Cintamu tak kunjung padam menerangi sanubariku. Ah, Getsemani, aku mencintaimu.
Ingin rasanya aku menemui engkau, yang kini entah ada dimana. Ingin rasanya aku memelukmu, melepaskan segala kerinduan yang memenuhi seluruh ruang hatiku. Ah, Getsemani aku sangat merindukanmu.
"Frater, apa yang kau pikirkan?" suara itu membuyarkan segala lamunanku, mengakhiri segala khayalanku.
"Getsemani." jawabku singkat.
"Siapa itu Getsemani?"
"Kekasihku."
"Hahaha... Kekasih? Sadarlah Kalvari. Kau ini seorang calon Imam, kau bukan pria biasa."
"Aku tahu."
"Lalu mengapa kau masih mencintai gadis itu?"
"Gadis?"
"Iya, Getsemani, gadismu."
"Aku tidak tahu, apakah ia seorang gadis."
Lelaki yang sedang duduk di sampingku itu mengerutkan dahinya. "Maksudmu, ia seorang janda?"
"Entahlah. Yang aku tahu, aku sangat mencintainya."
"Frater, sadarlah. Apa kau sudah gila?"
"Ya, aku gila. Aku gila karena cinta."
"Hahaha... Lelucon lama."
Aku menatap lelaki itu. "Frater Vir, apa menurutmu, aku tak pantas jatuh cinta? Atau aku tak layak untuk dicintai?"
Frater Vir menghela nafas, menatap langit senja. "Kalvari, aku sudah lama mengenalmu, bahkan sejak kita masih duduk di Seminari Menengah. Tapi, baru kali ini kudengar cerita tentang Getsemani, kekasihmu itu. Aku juga tidak tahu harus memulai darimana. Tapi, satu hal yang harus kau tahu, kalau kau benar-benar ingin mengikuti Yesus, maka kau harus siap dan rela melepaskan segalanya, termasuk cinta."
"Tapi, aku tak akan sanggup jika aku harus kehilangan cintaku."
"Kau akan mendapatkan cinta yang jauh lebih besar, yaitu cinta Yesus sendiri."
"Aku tidak tahu, Frater. Apakah aku bisa benar-benar melupakan Getsemani atau tidak."
"Kau harus bisa, Frater Kalvari. Kau tak punya alasan apapun untuk mencintainya. Kau ini abdi Tuhan. Kau bukan orang biasa."
"Andai kau tahu, bagaimana rasanya mencintai seseorang."
"Hahaha... Kalvari... Kalvari... Apa kau pikir, aku tak punya cinta. Aku punya cinta. Cinta pada orang-orang di sekitarku yang selalu mendukungku di jalan ini. Cinta akan mereka yang terus mendoakanku dalam panggilan ini. Itulah cintaku."
Aku terdiam mendengar kata-kata Frater Vir, sahabat yang sudah lama kukenal.
"Katakan, sejak kapan kau mengenal Getsemani?"
"Aku tidak tahu."
"Tidak tahu? Memang dimana kau mengenalnya?"
"Kami belum pernah bertemu secara nyata."
"Belum pernah? Lalu bagaimana kau bisa mencintainya?"
"Cinta itu muncul dengan sendirinya."
"Hahaha.. Kau ini seperti seorang penyair saja, yang kerjaannya hanya membayangkan tentang kehadiran cinta yang tak kunjung tiba."
"Memang itulah yang kulakukan."
"Apa maksudmu?" tanyanya keheranan.
"Getsemani adalah bayangan cinta yang selalu mengunjungiku di kala senja, hanya untuk mengantarkan sebuah pesan."
"Pesan apa?"
"Pesan cinta. Pesan bahwa aku melupakannya ."
"Mengapa demikian?" ia semakin tak mengerti.
"Karena ia ingin aku bahagia. Itulah sebabnya ia pergi meninggalkanku"
"Aku tidak mengerti maksudmu." Frater Vir menggaruk-garuk kepalanya mengisyaratkan bahwa ia sedang kebingungan mendengar ceritaku.
"Getsemani adalah kenangan cinta yang kubawa selama 5 tahun ini, sejak aku masuk ke Seminari Menegah. Ia adalah cinta yang selalu menggugah seluruh hati dan jiwaku. Ia adalah harapan dan mimpiku. Ia adalah potongan kebahagiaan yang tak sempat kumiliki."
"Kalvari, kau ini sudah gila atau bagaimana? Tadi, kau bilang kau belum pernah bertemu Getsemani, lalu darimana kau mengenalnya?"
"Aku mengenalnya dari keyakinan. Keyakinan bahwa ia benar-benar ada. Ada di sanubariku. Ia adalah cinta yang tertanam dalam belenggu penjara suci yang memisahkan kami. Ia adalah cinta yang terjepit oleh ruang dan waktu yang membatasi hubungan kami."
"Lalu, mengapa ia meninggalkanmu?"
"Ia meninggalkanku, karena ia tak mau aku terluka."
"Terluka?"
"Ia tak mau aku menduakan Tuhan, hanya untuk membagi cintaku dengannya. Meskipun ia telah melukiskan sebuah luka yang amat lara dalam kanvas hatiku yang hancur merana karena kepergiannya, namun aku tahu, ia pasti akan tetap mencintaiku."
Frater Vir terdiam. Ia menatap tajam wajahku, yang sedari tadi tetap memandang jauh, jauh ke arah jalanan yang terbentang di hadapan kami.
"Aku mengerti sekarang. Getsemani adalah gambaran kerinduanmu." katanya mantap tanpa berpaling dari tatapannya yang terus mengawasiku.
"Ia adalah pohon kerinduanku, yang tak pernah bisa kupanjat, karena aku tak mampu."
"Bukan tak mampu. Tapi, kau tak boleh melakukannya. Kau ini bukan musang, yang suka memanjat pohon, kau ini adalah kupu-kupu yang lebih suka terbang untuk mengerjar cita-citamu."
"Tapi, bukankah kupu-kupu juga dapat singgah di sebuah pohon?"
"Iya, tapi hanya sesaat. Itupun tak akan lama. Meskipun kau pernah bertamu di hati Getsemani, tapi kau tak akan bertahan lama di sana, karena kau tahu bahwa jika induk kupu-kupu kembali ke sarangnya, kau harus juga berada di sana, jangan sampai kau meninggalkannya."
Aku berpaling. Kutatap wajah sahabatku itu yang mulai diliputi kegelapan, karena wajah senja hampir berubah menjadi wajah malam.
"Kalvari, cinta bukan berarti harus memiliki dalam arti jasmani. Kau mungkin tak dapat memilikinya secara lahiriah. Tapi kau dapat memilikinya, sebagai bagian dari cintamu kepada Tuhan. Kau dapat memilikinya sebagai jawaban atas panggilan Tuhan. Milikilah cintanya dalam setiap doamu. Lupakan ia sebagai kekasihmu, kenanglah ia sebagai saudarimu, umatmu, anak Bapamu, sama sepertimu."
Aku terdiam mendengar kata-kata bijaknya. Ah, Vir, sahabatku, ia memang selalu seperti ini, bersikap bijak, dan sering menasihatiku. Aku tertunduk.
"Cinta adalah pengorbanan, Kalvari. Seperti Yesus yang rela mengorbankan diri di kayu salib, demikian kita pun dipanggil untuk mengorbankan diri lewat cara kita masing-masing, termasuk dengan mengorbankan cinta kita."
"Ah, Getsemani." desahku pelan.
"Antara Getsemani dan Kalvari, ada cinta yang begitu besar yang telah Tuhan berikan kepada kita, yaitu Jalan SalibNya. Segala luka dan penderitan yang terbentang antara Getsemani dan Kalvari, seharusnya bisa menjadi gambaran dan teladan bagi kita dalam mencintai dunia ini." katanya seraya menepuk pundakku.
Aku masih tertunduk. Sementara Frater Vir berdiri dan segera meninggalkan aku, yang masih duduk dan membisu di bangku taman itu.
* * *
"Kalvari..."
Aku mengangkat muka. Kudapati bayangan sesosok wanita itu yang sedang duduk di bangku lain di sisi lain taman ini. Ia tersenyum. Ia sangat anggun, dengan gaun putih panjang yang menjuntai menghiasi kecantikannya. Aku menatapnya. Tapi, aku segera tersadar akan kata-kata Frater Vir. Aku benar-benar harus melupakan Getsemani, bukan karena aku tak mencintainya, tapi karena aku sangat mencintainya. Aku harus melupakannya sebagai kekasihku.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan taman itu, dimana kulihat bayangan wanita senjaku masih duduk di sana. Aku meninggalkannya sendirian, dengan semua kenangan yang selalu kulalui bersamanya pada setiap senja cinta yang sempat menghampiri kami.
Selamat tinggal Getsemani. Selamat menempuh jalanmu sendiri. Takkan kubiarkan senjaku berlalu lagi dalam dekapan cintamu. Kan kubiarkan cinta Tuhan yang menjadi satu-satunya sumber bagiku. Mulai saat itu, aku selalu menghabiskan senjaku bersama Yesus dan Maria dalam setiap rangkaian doa Rosario, yang juga kupersembahkan demi kebahagiaan wanita senjaku, Gersemani.



By: Katarina Kewa Sabon Lamablawa




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sederet Puisi Kurangkaikan Untukmu "JUNI”

MENGAPA BUNDA MARIA DI SEBUT HAWA YANG BARU?