KISAH CINTAKU


KISAH CINTAKU 

Aku menyusuri lorong-lorong Rumah Sakit itu, mengikuti kehendak hatiku yang terdorong oleh belas kasih akan sahabatku, Frater Dionisius, yang mengalami kecelakaan siang itu. Tiba-tiba, HPku bergetar, menandakan ada sms yang datang. Segera kubuka HPku, hingga tak sengaja aku...
"Yesus." spontan seorang wanita dengan nada yang agak tinggi sedikit berteriak.
Aku terkejut. Ternyata, aku tak sengaja menabrak wanita itu, yang ternyata seorang Biarawati. Tapi, yang membuatku terkejut bukan karena aku menabrak seorang Biarawati, namun karena aku mengenal sosok wanita itu.
"Inri."
Iya terdiam. Matanya seolah mengawasiku.
"Riel?" serunya setengah kaget.
"Apa kau adalah Riel?"
Aku tersenyum, dan mengangguk.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
"Aku ingin menjenguk sahabatku, Frater Dionisius, yang mengalami kecelakaan siang tadi."
"Aku baru saja keluar dari kamarnya."
"Kau mengenalnya?"
"Sebelumnya tidak. Tapi setelah pertemuan tadi aku mengenalnya. Ia adalah sepupu sahabatku, Suster Hanna."
Aku masih tak menyangka bahwa ternyata orang yang ada di hadapanku ini adalah Inri, sahabatku sejak SMP, yang juga pernah menjadi pengisi ruang hatiku. Ah, Inri, mengapa kita harus bertemu lagi?
"Riel, apa kau juga seorang Frater?"
"Iya."
Inri tersenyum. Matanya seolah berbicara bahwa ia sangat merindukanku. Aku bisa merasakannya, karena matakupun mengisyaratkan hal yang senada. Tapi, aku tak bisa meminta apa-apa darinya. Dia bukan milikku lagi.
* * *
Inri adalah sahabatku sejak SMP. Kami pertama kali bertemu saat pelaksaan Masa Orientasi Siswa. Tak disangka, ternyata kami berada di kelas yang sama, bahkan sampai kami lulus SMP. Kami sangat dekat. Kami pernah menjadi teman sebangku. Kami banyak bercerita, tentang apa saja, hobi, cita-cita, impian, keluarga bahkan cinta.
Saat Inri merasa sedih ketika ia memiliki masalah dengan keluarga atau pacarnya, ia selalu mencurahkan air matanya padaku. Saat Inri merasa bahagia ketika ia memiliki apa yang diharapkannya, ia juga selalu meluapkan kebahagiaannya padaku. Ah, Inri, ia adalah pencuri hatiku. Sebenarnya, aku menyukainya, tapi apa daya ia telah memiliki sosok lain di relung hatinya. Aku tak mungkin bisa menggeser posisi orang itu, bagaimanapun dekatnya hubungan kami. Ah, Inri, Inri, Inri.
Setelah kami lulus SMP, kami melanjutkan SMA di sekolah yang berbeda, di kota yang berbeda pula, meskipun masih dalam satu yayasan. Jujur, aku sangat sedih karena harus berpisah dengan Inri. Aku tak bisa lagi menikmati senyumannya yang sangat indah bagaikan sekuntum mawar merah yang mekar. Aku tak bisa lagi mendengar suaranya yang sangat merdu bagaikan kicau burung yang menyambut pagi. Aku tak bisa lagi menggandeng tangannya, mengajaknya pergi ke perpustakaan, untuk membaca buku, mencari ilmu, membuka pintu dunia. Ah, Inri, kita harus berpisah. Sejak saat itu, kami hilang kontak.
Suatu hari, aku kembali ke SMPku, untuk mengurus beberapa dokumen, yang dulu belum sempat kuurus. Aku sangat berharap bisa bertemu dengan Inri, sebab SMP kami berada dalam satu kompleks yang sama dengan SMA tempat Inri menimba ilmu dari sumur-sumur pengetahuan. Aku sangat ingin bisa bertemu dengannya, hanya untuk menggandeng tangannya, mengajaknya pergi ke perpustakaan, untuk bercerita, merangkai mimpi bersama sambil membaca buku.
"Tuhan, pertemukanlah aku dengannya, kali ini saja. Tuhan, kumohon. Tolong aku Tuhan, tolong." pintaku dalam hati.
Ketika aku turun dari sebuah tangga, aku melihat Inri. Aku terkejut.
"Inri?"
"Riel? Puji Tuhan, akhirnya kita bisa bertemu lagi."
"Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
"Aku tidak tahu. Aku hanya mengikuti kata hatiku. Aku merasa ada dorongan yang membawaku kemari, sebab aku merasa bahwa aku akan menemukan sebuah keajaiban di sini. Ternyata benar. Aku telah menemukan kejaiban itu. Aku telah menemukanmu Riel."
Segera kugandeng tangannya, membawanya ke perpustakaan, bercerita panjang lebar, dan bergulat bersama buku-buku yang menemani kami merangkai masa depan. Inri banyak bercerita, termasuk tentang pacarnya. Aku hanya mendengar berbagai potongan kisahnya, yang tersembunyi dalam kedua matanya. Ah, Inri, Inri, Inri.
Ketika aku kembali ke SMAku, aku merasa ada sesuatu yang lain. Meskipun kini aku telah memiliki seorang pacar, tapi aku tetap tidak bisa melupakan Inri. Oh Tuhan, mengapa? Mengapa bayangan wajahnya tak kunjung hilang? Mengapa Tuhan?
Aku tak bisa lagi menahan perasaanku padanya. Malam itu juga, kuputuskan untuk mengutarakan seluruh isi hatiku padanya, walaupun hanya lewat sebuah pesan singkat atau sms. Apapun resikonya, aku tidak takut. Tuhan yang telah memberikan cinta ini padaku, jadi mengapa aku harus takut?
Aku juga tak menyangka, bahwa sebenarnya Inri juga memiliki perasaan yang sama denganku. Ia juga mencintaiku, meskipun ia sendiri telah memiliki tambatan hati yang lain. Aku tak pernah menyalahkannya, atau memaksanya. Kami pun bebas memilih. Akhirnya, pilihan kami jatuh pada sebuah keputusan. Kami pun memilih untuk tetap berhubungan sebagai sepasang kekasih, secara sembunyi-sembunyi, walaupun ada jarak, ruang , dan waktu yang terbentang antara kami.
Tak lama, hanya 8 bulan, kami kembali hilang kontak. Aku tak tahu apa hubungan kami masih bisa diteruskan atau tidak. Tapi, sama sekali tak ada kata putus yang mengakhiri segalanya. Hanya jarak yang begitu jauh di antara kami, membuat kami tak bisa bertahan. Ah, aku kehilangan Inri lagi. Sementara pacarku di SMAku pun, tak lagi kumiliki. Aku melepaskannya.
Menjelang Ujian Akhir, aku merasa ada sesuatu yang lain. Aku merasa ada getaran hebat yang menggoyangkan jiwaku. Getaran itu muncul setiap kali aku mengikuti perayaan Ekaristi. Karena tinggal di asrama sekolah Katolik, setiap hari aku dan teman-temanku penghuni asrama selalu mengikuti perayaan Ekaristi. Seolah ada kerinduan besar yang menjalar dalam diriku, kerinduan untuk melayani altarNya. Kerinduan untuk melayani sesama.
Selepas SMA, kubulatkan hatiku, kukuatkan tekadku untuk pergi menjawabi kerinduan itu. Aku memutuskan untuk masuk Seminari Tinggi. Aku melupakan semua yang pernah terjadi dalam hidupku, segala yang ada di belakangku kutinggalkan dalam bingkai masa lalu, dan kuputuskan untuk melangkah maju, menuju masa depanku bersama Yesus, Tuhan, Allah dan Penebusku. Aku juga tak pernah tahu bahwa akhirnya Inripun memutuskan untuk menjalani panggilan hidupnya sebagai seorang Biarawati.
* * *
"Apa yang sedang kau pikirkan?" suara Inri membuyarkan lamunanku, yang sedari tadi terbang mengunjungi masa laluku, kenanganku bersamanya.
"Riel, lupakan saja semua yang pernah terjadi di antara kita. Aku tak pernah menyalahkanmu. Tidak ada yang salah, karena cinta pun tak pernah salah. Sekarang, biarlah kita menjalani panggilan ini dengan baik. Biarlah kita mempersembahkan seluruh cinta kita hanya kepada Yesus. Dan biarkan Ia berkarya dalam diri kita. Biarkan cinta kita mekar dalam tugas, karya dan pelayanan kita. Biarlah masa lalu kita menjadi pelajaran bagi kita untuk menjadi lebih baik lagi ke depan. Biarlah Riel. Biarlah."
Aku tersenyum mendengar kata-kata Inri. Akhirnya, aku sadar. Inri benar. Kami bukan lagi Riel dan Inri yang dulu. Kini aku adalah Frater Riel dan ia adalah Suster Inri. Kami adalah pelayan Tuhan. Kami adalah pekerja di kebun anggurNya. Ah, Tuhan, terima kasih. Terima kasih karena Engkau telah mempertemukan aku dengannya, Inri. Jaga dia, Tuhan. Kuatkan panggilannya. Kokohkan imannya. Tinggallah bersamanya Tuhan. Tinggallah bersama kami, Riel dan Inri, anak-anakMu.
*untuk seorang sahabat, yang entah ada dimana

By : Katarina Kewa Sabon Lamablawa



 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sederet Puisi Kurangkaikan Untukmu "JUNI”

MENGAPA BUNDA MARIA DI SEBUT HAWA YANG BARU?

MENGENANG GETSEMANI