KEMANAKAH ENGKAU HENDAK PERGI?



 Kemanakah Engkau Hendak Pergi?

Adalah Caesar Nero yang telah membakar habis setengah kota Roma demi memuaskan ‘jiwa seninya’ dan menuduh orang-orang Kristen sebagai pelaku pembakaran massal di awal abad masehi itu. Tak pelak, darah dan asa orang-orang yang mengaku Kristen tumpah tercecer di sudut-sudut kota megapolitan tersebut.

Ribuan matahari telah lewat ketika Petrus – Sang Rasul Agung – yang kini telah renta dimakan usia tertatih-tatih menyusuri jalan keluar dari Roma. Petrus yang namanya berarti ‘batu karang’ telah dipilih sendiri oleh Kristus untuk menjadi primus inter pares – ‘yang pertama dari antara yang utama’, menjadi pemimpin Para Rasul dan Gereja Semesta. Para murid yang lain dengan penuh semangat memutar akal untuk melarikan Petrus terkasih dari badai maut. Petrus sendiri remuk karena Gerejayang dibangunnya kini sedang binasa. Ia mengaduh ditelan keragu-raguan dan ketakutan. Petrus diam-diam bergidik ngeri – sengeri dahulu, ketika Gurunya ditangkap dan disiksa keji – sementara murid-murid Kristus yang lain disahid ngeri oleh salib, jilatan api, pedang dan singa-singa amphiteatre. Ia lari dari cengkeraman maut Sang Kaisar dan bermimpi membangun lagi iman Kristen di luar Roma.

Pada temaram pagi di sebuah jalan sepi bernama Via Appia, seberkas cahaya terang tiba-tiba datang menghampirinya. Sekejap kemudian Petrus terpesona dan segera sadar bahwa ia kini berpapasan dengan Tuhannya yang mulia. Lengannya yang rapuh menggapai Kristus – Guru yang dicintainya. Dengan nafas tertahan ia bertanya, “Quo vadis?” – “Ke mana Engkau hendak pergi?”

Dengan tatapan lembut nan sedih, Yesus menjawab, “Ad Romam!” – “Ke Roma!”
“Karena kini kau meninggalkan domba-dombaKu, aku akan pergi ke Roma. Di sana aku akan disalibkan untuk kedua kalinya.”

Petrus tertunduk rebah ke tanah dan keriput wajahnya tenggelam dalam debu. Lama tubuhnya diam dan tak bergerak-gerak. Nazarius yang sejak awal mendampinginya mulai takut, jangan-jangan Petrus jatuh pingsan atau kehabisan tenaga. Tapi tiba-tiba Petrus bangkit berdiri. Dia memungut tongkatnya kembali, dan tanpa mengatakan apapun berbalik menghadap ke arah Roma. Kali ini langkahnya tegap dan mantap, “Ad Romam!”

* * *

Selama ini aku sering tertelan lupa bahwa aku hidup! Tarikan nafas menjadi begitu biasa dan denyutan jantung seolah pasti terus terjadi. Aku terbius dalam rupa-ragam tingkah dan polah hingga tak sempat sadar betapa hidup lebih dari sekadar ‘kebetulan yang mengagumkan’. Hidup adalah sebuah peziarahan di mana jejak kaki kita tergambar begitu tipis karena riang dan senang atau terlukis begitu dalam karena beban yang kita panggul terasa begitu berat. Sayangnya, banyak manusia merasa diri terlalu sibuk dan tak ada waktu untuk menatap jejak-jejak itu selama menyusuri lorong hidupnya. Mereka terus melangkah sambil termakan cemas dan ketakutan tanpa sadar akan makna peziarahannya.

Kadang aku juga menjadi takut, ragu dan putus asa seperti Petrus. Aku pun tak jarang ingin lari dan keluar dari diri sendiri. Berpuluh kali aku bertanya mungkinkah hidupku nanti menjadi topeng tanpa peran. Beratus kali aku bertanya adakah cita-citaku hanyalah impian semusim. Beribu kali aku bertanya apakah aku sungguh mendengar panggilan-Nya atau malah hanya memilih dalam buta yang gelap. Aneh, justru ketika aku mulai bertanya dan bertanya, aku menyelam lebih dalam ke dasar diriku walau tak langsung kujumpai jawaban dan puas di sana. Setidaknya aku menemukan kesadaran bahwa aku benar-benar hidup dan untuk itu aku membisikkan syukur seraya tetap mencari ‘mutiara maha-berharga’ bagi hidupku.

Bukankah hidup kita juga adalah pencarian?! Apa yang kita cari dalam hidup? Semua tentu setuju bila kukatakan kita mencari bahagia dalam hidup ini. Lalu apakah kebahagiaan itu? (Wah, lagi-lagi muncul polesan pertanyaan!) Sebagian dari kita mungkin akan menafsir bahagia sebagai sukses dalam karir dan menjadi kaya-raya. Sebagian lagi akan bertutur bahwa bahagia adalah kala semua keinginan dapat terpenuhi. Seorang sahabat berkisah bahwa bahagianya adalah hidup yang simple tanpa banyak pergolakan, damai dan punya cukup waktu dengan keluarganya. Pokok soalnya ialah, “Apakah bahagiaku sungguh mampu mengantarku pada sebuah Bahagia yang Sempurna?”

Aku telah mencoba merenungkan hal ini sekian lama. Sampai sekarang, aku masih terus mencari jawabnya. Terkadang memang aku – sekali lagi – lupa dan lebur dalam hingar-bingar keseharian yang melelahkan. Maka, kutanyakan pada diriku sendiri “Quo vadis?” - “Ke mana Engkau hendak pergi?” agar aku selalu ingat bahwa aku hidup, aku berjalan, aku berziarah untuk sebuah Bahagia yang Sempurna.

Kukutip pertanyaan Petrus puluhan abad yang lalu ini karena sejak saat itu Petrus sadar, bahwa seluruh legiun angkatan perang Caesar takkan bisa menghancurkan kebenaran hidup. Caesar takkan bisa menenggelamkannya dalam darah atau air mata. Pertanyaan Petrus itu memang telah mengantarnya pada maut di palang salib seperti sang Guru. Tapi dunia tidak akan pernah lupa bahwa pertanyaan itu pula yang membuat Petrus dan sekian banyak manusia menemukan Tuhan yang mencintai mereka serta apa yang tidak bisa diberikan dunia – yaitu kebahagiaan karena cinta! Pertanyaan itu tinggal abadi bersama sejarah … menanti untuk ditanyakan kembali oleh anak-anak zaman yang lelah berziarah dalam takut, cemas dan sekaligus rindu akan bahagia sejati dalam hidupnya; untuk ditanyakan olehku, oleh Anda, oleh kita!
.
.
.

By : Paulus Jati Nugroho



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sederet Puisi Kurangkaikan Untukmu "JUNI”

MENGAPA BUNDA MARIA DI SEBUT HAWA YANG BARU?

MENGENANG GETSEMANI