Perayaan Syukur HUT Kemerdekaan RI Ke-73 Paroki St. Dominic, Lahad Datu 2018
Barisan AJP Komiti Pastoral Indonesia bersama uskup Sensi, Romo Edu dan Fr, Simon |
100 % KATOLIK – 100 % INDONESIA
Itulah semboyan yang dicetuskan oleh
Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ (seorang Vicar Apostolik dan menjadi
pahlawan Katolik yang pertama dari Indonesia, 1896 -1963) yang kembali didengungkan
oleh Mgr. Vincentius Sensi Potokota dalam
homilinya pada misa syukur kunjungannya ke umat Katolik Indonesia di Paroki St.
Dominic pada 19 Agustus 2018 dalam rangka/sempena Sambutan HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke – 73 pada
perayaan syukur Misa Kudus.
“Memahami Secara Singkat Makna 100%
Katolik - 100% Indonesia”
Ketika Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, mencanangkan ide tersebut,
maksudnya sederhana yaitu mengajak orang Indonesia yang Katolik, menjadi Gereja
Katolik Indonesia. Artinya, ya benar-benar orang Katolik, alias 100% Katolik,
tetapi juga tetap orang Indonesia 100%. Dengan cara itu Gereja Katolik (yang terdiri dari orang-orang)
Indonesia, akan dapat berkembang. Sebab waktu itu Gereja Katolik di Indonesia
masih didominasi oleh orang Eropa, non Indonesia. Mgr. Soegija, tidak hanya
melontarkan ide, tetapi juga menunjukkan cara untuk mewujudkan ide tersebut.
Cara yang dimaksud adalah dengan membentuk lingkungan dalam Gereja.
”Alangkah baiknya, kalau dalam setiap wilayah pemukiman, terdapat
seorang pribumi yang bersemangat, yang dapat mengumpulkan orang-orang Katolik
supaya orang Katolik tidak berkedudukan di luar lingkungan hidup mereka...“
…Dalam lingkungan itu, diharapkan ada seorang pribumi yang bersemangat (=Katolik) yang membangun lingkungan menjadi
tempat dan kesempatan untuk menjadi Katolik (100%) tetapi sekaligus juga
anggota masyarakat, di lingkungan hidupnya, di Indonesia (100%).
Itulah awal dan aslinya ide
lingkungan yang dilontarkan oleh Mgr.
Soegijapranata, SJ. Tujuan membentuk lingkungan adalah menyediakan media
bagi orang Katolik untuk terlibat dalam gerak masyarakat. Keterlibatan ini mungkin
sebab di lingkungan orang Katolik tidak lepas dari akar dan konteksnya: anggota
lingkungan masyarakat tertentu. Kedua, di lingkungan itu pula, orang awam
Katolik berperan utama. Ia menjadi rasul Gereja tanpa dicabut dari akarnya, dan
sesuai dengan profesinya masing-masing. Itulah makna rasul awam dalam arti
sebenarnya.
Terimakasih Mgr Soegijapranata,
atas inspirasi dan motivasi hidup untuk orang-orang Katolik awam.
Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, |
“Kutipan Homili Uskup Sensi”
Tema: 100% Katolik, 100% Indonesia
Hari ini kita berkumpul untuk
merayakan HUT Proklamasi RI ke-73. Memang tidak ada tema khusus yang ditawarkan
kepada kita. Karena itu saya menawarkan tema perayaan kita ini: 100% Katolik, 100%
Indonesia. Tema ini adalah motto yang diangkat oleh Mgr. Albertus Soegijapranata,
Uskup pribumi pertama Indonesia ketika beliau berbicara mengenai keberadaan dan
tanggung jawab umat Katolik Indonesia dalam relasi dengan negara dan iman
katolik. Motto ini masih tetap relevan sampai saat ini. Pertanyaannya :
bagaimana kita komunitas katolik hidup di Indonesia secara signifikan? Pertama,
bersama warga lain Kemajuan sebuah negara ditentukan oleh 4 faktor ini:
tekonologi, ekonomi, relasi internasional dan etika moral. Kedua, Bagi kita orang katolik etika moral
merupakan hal yang amat penting untuk melahirkan manusia yang bermutu dalam hal
iman dan karakter. Inilah yang menjadi kontribusi atau sumbangsih komuniti
katolik. Ketiga, inspirasi utama Komuniti Katolik Indonesia ialah motto 100%
Indonesia, 100% Katolik. Motto ini adalah sebuah panggilan iman dan moral
sekaligus kewajiban sebagai kita sebagai warga negara. Pertanyaannya: bagaimana
kita mewujudkannya? Jawaban atas pertanyaan ini dapat kita temukan dalam pesan
Sabda Tuhan hari ini. Orang mengatakan bahwa ada banyak ke Roma. Demikian pula
ada banyak jalan atau cara untuk memberikan jawaban. Salah satu hal yang
dilakukan dalam Gereja adalah mendengar, mengerti, meresapi, percaya/yakin pada
Sabda Tuhan.
Hari ini kita merayakan Hari
Minggu Biasa ke-20. Dalam Injil hari ini Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Roti
Hidup. Yesus mengatakan: “Akulah Roti Hidup yang turun dari surga.
Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-selamanya. Roti yang
Kuberikan untuk dunia”. Kalau kita
baca dalam konteks Proklamasi RI ke 73, tanggal 17 Agustus 2018, “Akulah Roti hidup untuk hidup Negara
Kesatuan Repbublik Indonesia (NKRI) selama-lamanya. Ini harus menjadi keyakinan
iman yang akan menjadi tenaga dalam/batin kita Komuniti Katolik Indonesia,
bahkan Komuniti Katolik Sedunia termasuk Malaysia yang merayakan HUT
Kemerdekaannya tagl 31 Agustus nanti”.
Apa yang dimaksudkandengan
Roti Hidup?
Bukan roti jasmani saja untukbertahan
dalam hidup yang bermutu, dalam kontribusi atau sumbangsih kita untuk bangsa dan
tanah air, tetapi juga mutu ketahanan hidup roh/jiwa. Kita ingat Yesus pernah bersaba:
“Iman sebesar biji sesawi saja bisa
pindahkan gunung ke tempat lain”. Kekuatan batin amat sangat di tentukan oleh
iman yang diajarkan agama kita. Juga ditentukan oleh mutu perintah agama dan
relasi kita yang setia dengan Allah Tuhan pencipta, penyelenggara dan penentu. Tadi Yesus katakan bahwa jika seseorang tidak
makan roti yang Dia berikan maka Dia tidak akan hidup hidup dalam diri orang
tersebut. Sedangkan yang makan roti itu : “Aku
akan tinggal dalam dia dan dia dalam Aku”.
Kita juga ingat Yesus katakan: “Bapa-Ku
telah mengutus Aku maka Aku hidup dalam Bapa”. Karena itu hidup dalam Yesus
berarti hidup dalam Bapa Allah.
Pesan untuk kita:
100 % Indonesia = 100% Katolik. Artinya:
Percaya dan yakin bahwa mutu
kekatolikan kita akan semakin meningkat apabila kita makan roti
hidup=memegang Yesus Kristus atau Allah.
Meningkatkan mutu akal budi
kita yang berarti kita mesti memegang kebijaksanaan Allah bukan kebodohan
manusiawi.
Kita komuniti Indonesia hidup
dan tinggal di Malaysia untuk mencari sesuap/sepiring nasi supaya hidup. Yang
kita cari tidak hanya ringgit (roti ringgit) tetapi juga roti untuk jiwa kita
untuk daya hidup jiwa yang bermutu.
“Menjadi Pertama Dalam Sejarah Paroki”
Komiti Pastoral Indonesia di bawah naungan Paroki St, Dominic,
Lahad Datu, yang di ketuai oleh Bpk. Petrus
Dalu, telah sukses merayakan kesyukuran HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke –
73. Kesuksesan itu pasti tidak lepas dari sebuah usaha dan pengoranan dan menjadi
sebuah momen yang bersejarah yaitu kehadiran Bpk Uskup dari Keuskupan Agung Ende,
Mgr. Vincentius Sensi Potokota atau biasa di sapa dengan uskup Sensi itu. Dan
yang menjadi sebuah sejarah Paroki karna pertama kali mendapat kunjungan dari seorang
uskup dari keuskupan luar Sabah bahkan luar Malaysia, yaitu seorang uskup agung
dari salah satu keuskupan di Regio Nusra
(Nusa Tenggara), tepatnya dari Ende, Flores, NTT, Indonesia. Semua itu karena keprihatinan yang mendalam dalam
diri seorang gembala / uskup untuk umat Katolik Indonesia yang menjadi migran dan
perantau di Malaysia, tepatnya di Keuskupan Sandakan, Sabah.
Keprihatinan itu diwujudkan dalam
kunjungannya pada perayaan syukur atas kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 19 Agustus baru-baru ini. Atas kerjasama dari Komiti
Pastoral Indonesia (KPI) Paroki St. Dominic bersama Romo Eduardo Raja atau lebih
mesra di sapa Romo Edu ini yang menjabat sebagai ketua Komisi Pastoral Migran & Perantau
(KMP) Keuskupan Agung Ende.
Pada
perayaan natal 2017 yang lalu, Romo Edu adapun membisikan sesuatu pada Paderi Paroki
St, Dominic yakni Fr. Simon J. Kontou dan
juga kepada ketua KPI Bpk Petrus bahwa pada HUT RI mendatang, dia akan membawa seorang
uskup untuk datang dan merayakan HUT RI bersama umat katolik migran dan perantau
dari Indonesia. “Saya akan membawa uskup nanti
datang kesini” kata Romo Edu dengan dialek khas Flores itu. Hal itu di terima
baik oleh Fr, Simon sendiri namun kemudian beliau agak kurang percaya bahwa bapa
uskup akan bisa hadir di paroki Lahad Datu. “Awalnya
saya kurang percaya kalau bapa uskup akan datang, saya tidak begitu yakin dan merasa
belum layak menerima seorang uskup dari luar Sabah” kata Fr. Simon dalam ucapannya
sebelum berkat penutup misa syukur HUT RI. Lanjutnya; “saya memikirkan banyak hal, terutama sekali adalah tempat. Di mana nanti
bapa uskup akan tinggal, akan tidur dsb, karna bilik yang sempit dll… tapi lihatlah
hari ini…… bapa uskup ada bersama-sama dengan kita disini di paroki ini…”. Ungkapan
itu di sambut dengan tepuk tangan yang gemuruh dari semua umat yang hadir pada saat
itu.
Fr.
Simon sungguh tidak percaya akan kehadiran bapa uskup, namun melihat kenyataan
yang ada di depan mata, beliau jadi sedikit emotional
hingga akhirnya ia meneteskan air mata dan terdiam untuk beberapa saat. Seluruh
umat dibuatnya “hening sejenak” dan merasa terharu hingga akhirnya masygullah hati
umat-umat lalu turut meneteskan air mata. Dan tentu saja air mata itu adalah
air mata kebahagiaan, sukacita, dan kegembiraan paderi paroki bersama umatnya. Selanjutnya
Fr. Simon mengucapkan syukur kepada Tuhan dan terima kasih yang teramat kepada
bapa uskup karena sudi datang untuk melihat, mengalami dan merasakan secara
langsung kehidupan umat katolik migrant dan perantau di Sabah khususnya di
keuskupan ini dan di paroki ini. Tambahnya: “Umat
Katolik Indonesia yang ada di Paroki ini, jangan kamu berpikir bahwa paroki
saya ada di Flores atau di Toraja atau di daerah lain di Indonesia. Ketika kamu
masih berada di sini, inilah paroki kamu, inilah paroki kita – saya tidak
pernah menganggap kamu orang asing di paroki ini, kita semua adalah umat
Katolik, kita adalah satu”. Akhirnya beliau mengucap terima kasih kepada
KPI dan mengajak semua umat untuk
bersama-sama bersukacita merayakan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI bersama umat
Katolik Indonesia.
Sebelumnya
Ketua Panitia Perayaan (Pengerusi Penganjur Perayaan) HUT RI ke -73, Saudara Bob Remon telah di persilakan memberi
ucapan. Dalam ucapan sambutannya yang didahului dengan tepuk tangan, beliau merangkaikan
syukur kepada Tuhan dan jutaan terima kasih atas kehadiran bapa uskup Sensi dan
romo Edu tentunya.
Sedikit
kutipan kata-kata sambutan dari Ketua Panitia Perayaan :
“…Syukur kepada Tuhan
atas anugerah-Nya kepada kita semua karena dapat merayakan misa kesyukuran
sempena hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke 73 di Gereja Santo
Dominic.
Pertama sekali saya
mewakili semua AJP Komiti Pastoral Indonesia dan semua lapisan umat warga
Indonesia dari pelbagai suku dan bangsa dalam paroki St. Dominic merakamkan
ribuan terima kasih terutama kepada Rev. Fr Simon Kontou paderi paroki, Rev. Fr
Marcelinus Pongking pembantu paderi karena terus menerus menyokong dan memberi
peluang kepada kami umat Indonesia untuk merayakan hari yang penuh bersejarah
ini, kami sememangnya bertuah karena berada di paroki yang tercinta ini paroki
St. Dominic.
Setinggi-tinggi
penghargaan dan jutaan terima kasih kepada Yang Mulia Bapa Uskup Agung; Mgr.
Vincentius Sensi Potokota dari Keuskupan Agung Ende, Flores dan juga diiringi
yang kami hormati Romo Eduardo Raja kerana sangat menyayangi kami para Migran
dan Perantau Flores Indonesia di Sabah khasnya Lahad Datu. Ini adalaah bukti
cinta kasih Allah kepada kita umat-Nya.
Selaku Pengerusi
Penganjur,saya juga merakamkan berbanyak-banyak terimakasih kepada semua pihak
yang terlibat secara langsung dan tidak langsung tak lupa juga kepada kedua
sister semua ahli MPP,pejabat gereja dan semua komiti-komiti gereja , KKD-KKD
yang turut menyokong Komiti Pastoral Indonesia untuk menjayakan program ini.
Dan tak lupa kepada
semua penderma berupa wang tunai ,barangan electrical dll…
Karena kamulah separuh
dari kejayaan ini. Saya percaya ini semua dapat kita rayakan dengan jayanya
karena adanya campur tangan dari KuasaRoh Kudus.
Akhir kata, kami
selaku penganjur memohon kemaafan yang tak terhingga, sekiranya terdapat
kecacatan dan kekurangan sepanjang perjalanan perayaan ini.
Sekali lagi saya
menyeruh kepada semua kita yang hadir disini; walaupun kita dari berbagai-bagai
komiti namun kita tetap satu dalam Paroki St. Dominic.
Sekian dan terima
kasih, “Selamat Menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 73”
Anak-anak Merdeka |
Dan akhirnya bapa uskup diberi kesempatan
untuk memberi sepatah dua kata. Dalam ucapannya, bapa uskup mengungkapkan rasa
bahagianya yang tak terhingga karna dapat bertemu dengan semua umat Katolik di
paroki St. Dominic khusunya Umat Katolik Indonesia yanmg menjadi migran dan
perantau di paroki ini. Ternyata uskup Sensi sudah tiga kali datang ke
Malaysia. Dan kali ketiga inilah beliau di undang oleh KPI paroki St. Dominic
untuk merayakan syukur atas kemerdekaan Indonesia. “Saya di undang oleh umat Katolik Indonesia di sini untuk datang dan
merayakan syukur atas kemerdekaan Negara Indonesia dan bersama mereka berdoa
bagi negaranya”. Ungkap beliau.. selanjutnya beliau menghimbau seluruh umat
untuk berdoa pula bagi Negara Malaysia yang juga akan menyambut Hari
Kemerdekaan pada 31 Agustus mendatang.
Ucapan
beliau yang kurang lebih 30 menit itu beliau menceritakan kondisi Gereja dan
bagaimana peran uskup se-Indonesia dan se-Malaysia dalam menangani para migran
dan perantau Katolik Indonesia.
“Nanti kalau saya pulang ke Indonesia,
saya akan menceritakan perihal umat katolik Indonesia yang berada di Malaysia
dan masalah-masalah yang mereka hadapi dan kami akan menindaklanjutinya”. Tambahnya: “bukan
sampai disini saja, tapi akan ada kegiatan-kegiatan selanjutnya. Dan mungkin
kegiatan itu tidak hanya di seputar altar saja tetapi juga harus turun ke
lapangan melihat, mendengar dan merasakan secara langsung masalah-masalah apa
yang yang dihadapi oleh umat perantau katolik dari Indonesia”.
Mengutip
kata-kata beliau dalam ucapannya itu beliau berkata kepada semua umat yang
hadir bahwa mereka tidak boleh melupakan keuskupan asalnya. Karena dengan
demikian, mereka tidak akan kesulitan dalam pengurusan dokumen-dokumen dari
asal paroki dan keuskupan mereka. Ia bersyukur kepada keuskupan-keuskupan di
Malaysia yang selalu membuka diri pada semua migran dan perantau Katolik dari Indonesia
maupun dari Filpina khususnya keprihatinan Gereja setempat secara konkrit di
wilayah Lahad Datu ini oleh Rektor Paroki Fr. Simon Kontou dan pembantunya Fr.
Marcelinus Pongkin dan juga Komiti Pastoralnya baik Indonesia maupun Filipino.
“Ini sesuatu yang luar biasa, dan saya
tidak sanggup mengungkapkan rasa bahagianya saya sebagai seorang uskup” ungkap beliau. Tambahnya; …“Mewakili uskup-uskup
dari Flores khususnya dan dari Indonesia umumnya tentu punya tanggung jawab
pada semua umat katolik yang ada di perantauan ini. Saya mengucapkan ribuan
terima kasih kepada Rev. Fr Simon dan Fr. Marcel dan Komiti Pastoral yang ada
di paroki ini atas cinta dan perhatian kepada semua perantau Katolik di Paroki
ini. Terutama sekali terima kasih atas cinta dan perhatian kepada komunitas
perantau yang datang dari Tanah Air Republik Indonesia yang hari ini kita
syukuri ulang tahun Kemerdekaannya. Terima kasih untuk perhatian dan cinta yang
para perantau alami dan terima”.
Dengan kepastian dan konfirmasi
ini beliau nanti akan menceritakan dengan teman-teman uskup se-Flores dan juga
uskup-uskup se-KWI (Konferensi Waligereja
Indonesia) pada November mendatang bahwa bangsa kita, para perantau kita
yang datang dari Indonesia mendapat cinta dan perhatian yang luar biasa di
tempat ini.
Lanjutnya: “Beberapa tahun lalu saya berada di
Kuala Lumpur, bertemu dengan komuniti-komuniti perantau Katolik dan Kristen
pada umumnya dengan kesan yang sama, saya bertemu dengan Uskup Emeritus Mgr.
Murphy Nicholas Xavier Pakiam dan juga Uskup Agung yang sekarang, Mgr. Julian
dengan kesan yang luar biasa namun tidak seperti di Sabah dan Sarawak ini.
Karna tentu mereka punya alasan tersendiri disana kenapa mereka tidak atau
belum boleh seperti uskup, para paderi dan komiti-komiti pastoral yang ada di
keuskupan di Sabah dan Sarawak ini yang jauh lebih maju. Kesan saya mungkin
karena kemudahan-kemudahan yang dialami disini dalam kaitan dengan perhatian
dan cinta yang diberikan. Pendek kata kesan saya kepada semua keuskupan di
Semenanjung, Sabah dan Sarawak ini, saya menjadi bahagia, gembira dan punya
kesan yang sangat positif bahwa rencana program pastoral yang nanti saya dan
teman-teman uskup di Flores dan nanti saya ajak juga uskup-uskup dari selatan
NTT, (Kupang, Atambua, Weetebula) supaya kita bersatu padu membuat
rencana-rencana yang lebih konkrit menjawabi keperluan-keperluan dan kebutuhan
para perantau dari Indonesia umumnya dan Nusa Tenggara pada khususnya. Dengan
konfirmasi yang saya sendiri lihat dan alami di paroki St. Dominic ini, luar
biasa, saya harus angkat jempol”….. Kemudian
beliau mengajak seluruh umat untuk bertepuk tangan untuk Fr. Simon dan Fr.
Marcel serta kedua sister, Sr. Sylvia dan Sr. Evelyn dan juga seluruh jajaran
AJP Komiti Pastoral Indonesia.
Selanjutnya;
beliau memastikan bahwa melalui Romo Edu dari Keuskupan Agung Ende, Romo Lukas
dari Keuskupan Larantuka, Romo Charles, Romo Roy dari Keuskupan Ruteng dan Romo
Marsel dan kawan-kawannya dari keuskupan Maumere bahwa melalui merekalah para
gembala, para uskup se-Flores mempunyai hati dan cinta untuk semua migran &
perantau Katolik. Dengan kehadiran beliau sendiri disini semakin ia mengetahui,
melihat dan menengok sendiri bagaimana umat Katolik Indonesia diperlakukan
dengan penuh cinta dan kasih sayang oleh Gereja setempat.
Katanya:
…“Kemarin saya bertemu dengan Uskup
Julius di Sandakan dan kami dua cakap-cakap dan saya semakin yakin bahwa
kedepan nanti kami akan tantang (cabar) uskupmu dari keuskupan-keuskupan asalmu
dari Regio Nusra (Nusa Tenggara) yaitu dari Keuskupan Larantuka, Maumere,
Keuskupan Agung Ende, Keuskupan Ruteng, Keuskupan Denpasar (Bali), Keuskupan
Agung Kupang, Atambua, dan Weetebula (Sumba) bahwa nanti apa yang akan kami buat
untuk lebih konkrit dan lebih menjawabi keperluan-keperluan para perantau
terhadap isu-isu dan masalah-masalah yang perlu ditanggapi dalam bentuk
program-program pastoral”
Uskup Sensi bersama "anak-anak merdeka" (pembawa persembahan) dan Elton Susanto |
Uskup
Sensi menyatakan keyakinannya dengan melihat langsung pada keuskupan Sandakan
dan secara umumnya pada keuskupan di Sabah dan Sarawak dan juga di Semenanjung
yang sangat welcome dan prihatin
kepada para migran dan perantau Katolik. Beliau berharap agar kedepannya mereka
(para uskup) dapat bertindak dengan program-program pastoral untuk lebih
menyentuh, menanggapi dan lebih menjawab keperluan-keperluan umat Katolik
Indonesia di perantauan. Katanya tidak cukup hanya dengan pelayanan-pelayanan
seputar altar yaitu misa kudus misalnya yang hanya pergi datang dan kemudian
hilang lagi, namun pelayanan yang bisa mengatasi masalah-masalah para perantau
yang menjadi tanggung jawab mereka dengan program-program kedepan. Isu yang
lebih rumit dan kuat misalnya yang menjadi masalah para perantau adalah soal
dokumentasi yang akan sangat sulit untuk membekali para perantau untuk datang
ke Malaysia. Dan tentunya mereka (para uskup) mewakili Gereja Katolik tidak
mungkin mengurusi sendirian. Mereka harus bekerja sama dengan pemerintah,
artinya bahwa urusan dokumen perlu masuk ke ranah atau ruang pemerintahan,
yaitu pemerintah Indonesia dan Malaysia. Karena urusan-urusan dokumen adalah
diluar tanggungjawab dan jangkauan Gereja. …..“Dan tugas ini tidak gampang”,kata beliau… lanjutnya; “tugas ini harus saya dan para uskup
se-Indonesia mencari jalan supaya anda semua para perantau dari bangsaku
Indonesia bisa hadir dan berkarya di sini secara bermartabat meskipun bekerja
di ladang kelapa sawit tapi punya harga diri sama seperti saudara/i orang
Malaysia”. Kata Uskup Sensi. Beliau memohon doa agar mereka (para uskup)
dapat mewujudkan hal-hal untuk bisa menangani apa yang menjadi masalah para
perantau Katolik Indonesia. Katanya lagi bahwa inilah menjadi mimpi kita
bersama agar kelak anak cucu kita tidak mewarisi “dosa” kita orang tua yaitu
tidak ada dokumen yang akan menjadikan mereka tidak bermartabat dan tidak punya
harga diri.
Anggota koor KPI bersama uskup, romo Edu, fr, Simon dan petugas misa kudus |
Selanjutnya;
Beliau juga memuji koir yang dipimpin oleh Sdra. Elton Susanto dan Pemusik
Sdra. Alfian Muering. Uskup Sensi juga memuji semua perantau Katolik yang
beraneka ragam suku, bangsa, ras dan budaya dari Indonesia dengan melihat pada
busana tradisi atau pakaian-pakaian tradisi yang dikenakan pada misa syukur
kemerdekaan Indonesia baik umat, anggota koor dan pembawa persembahan. Katanya
bahwa ini adalah sebuah simbol atau gambaran
kebhinekaan kita sebagai warga Negara Indonesia. Ini adalah bukti cinta
kita yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam terhadap Kebhinekaan
Indonesia bahwa kita satu dan kompak. Beliau melanjutkan; “dalam rangka / sempena kesyukuran ulang tahun kemerdekaan Indonesia
ini, saya mau mengarisbawahi dan menegaskan bahwa kita harus menjaga kesatuan
dan kerukunan semua suku bangsa yang ada di Indonesia, dari Sabang sampai
Merauke dan bersyukur bahwa kita diberi kesempatan untuk merayakan HUT
kemerdekaan kita di bumi Malaysia, di tanah Sabah ini. Oleh itu kita bersyukur
pula karna dapat berkumpul bersama untuk memperkuat rasa kebangsaan kita, rasa
nasionalisme kita sebagai saudara se-bangsa dan se-tanah air dari cara kita
berbusana (berpakaian) yang merupakan niat dari dalam lubuk hati kita bahwa
kita tetap 100 % Indonesia dan sebagai komunitas Katolik kita juga 100 %
Katolik supaya dalam kebersamaan sebagai komunitas Katolik, kita berkontribusi,
berpartisipasi dalam hidup berbangsa dan
bernegara dengan komunitas agama lain seperti Islam, Hindu, Budha dll agar kita
satu, unggul dalam membangun Bangsa dan Negara kita. Itulah doa dan harapan
saya, dan saya ikut terharu ketika pikiran ini saya lemparkan dalam motto “100 % Katolik – 100 % Indonesia” yang
dicetuskan oleh seorang Pahlawan Katolik, Mgr. Albertus Soegijapranata. Akhirnya
beliau mengucapkan ribuan terima kasih dengan rasa bahagianya.
petugas pembawa persembahan dan pengapit rombongan |
Selesai
berkat dan lagu penutup, umat yang penuh dengan antusiasme mengajak bapa uskup,
romo Edu dan Fr. Simon untuk berfoto bersama sebagai kenang-kenangan. Setelah
itu acara pentas di mulai sekitar pukul 11.45.am dengan di dahului oleh acara
jemputan bapa uskup Sensi, romo Edu, Fr. Simon dan barisan tamu-tamu VIP oleh 3
tarian dari 3 etnik yang ada di Paroki St. Dominic. Tarian jemputan yang
didahului oleh suku kaum Kadazan Dusun, kemudian dari suku kaum Filipino dan
yang terakhir dari suku kaum Flores, Indonesia setelah bapa uskup dan rombongan
melewati gapura atau pintu gerbang yang disediakan oleh Tim Dekorasi Bpk, Thomas Nilan dan para OMK (Orang
Muda Katolik) yang dipimpin oleh Nj Watanabe, Albert Mukin, dan Rikson,
setelah sebelumnya beliau diminta untuk memotong pita dan kemudian dikenakan
kembang di dada bersama romo Edu dan Fr. Simon. Uskup Sensi dan romo Edu juga
dikenakan topi khas dari suku kaum Kadazan Dusun oleh Fr. Simon sendiri. Kemudian
bapa uskup mengalungkan sehelai selendang dari Flores dengan motif tenun khas
Ende di leher Fr. Simon. Para undangan VIP kemudian diiring masuk dengan tarian
khas Ende tentunya yang di apiti oleh anak-anak sekolah Minggu bimbingan sdra Elton
Susanto dan rekannya yang memegang bendera Merah Putih pada sisi kiri
dan kanan barisan. Para tamu pun bergerak masuk ke pentas utama. Setelah tiba
semua hadirin di mohon berdiri oleh MC
sdra. Felix Josep dan sdri. Juliana Hendrikus untuk bersama-sama
menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia
Raya, kemudian diikuti dengan lagu Mengheningkan
Cipta untuk mengenangkan jasa para pahlawan yang gugur di medan perang demi
memperjuangkan kemerdekaan RI. Semua hadirinpun diminta menundukkan kepala saat
lagu tersebut dikumandangkan. Setelah selesai semua hadirin dimohon duduk dan
tarian pembuka tirai pun dipersembahkan. Tarian ini dipanggil tarian “Mini
Kolosal”. Tarian dari tiga etnik besar di Paroki St. Dominic yang
disatukan. Tarian yang dipimpin oleh sdri.
Maureen Joy Prudente Kinsung, Charlyn
Aguanta Lava,sdra. Martinus Simon Sitam, Kristina Amun, Mariana Suprati dan
Elton Susanto sendiri dengan
40 lebih penari ini membuat suasana semakin meriah. Tarian ini melambangkan
kepelbagaian suku, tradisi dan budaya umat di Paroki St. Dominic. Tarian ini
juga menggambarkan kesatuan umat dari berbagai suku, bangsa dan budaya yang ada
di paroki Santo Dominic, Lahad Datu tentunya. Acara pentas yang lainnya juga
turut dipersembahkan, salah satunya yang paling menonjol adalah “Tarian
Cerita Rakyat Nusantara”. Tarian yang di latih oleh Sdra. Ap
Wisang ini menggambarkan kehidupan masyarakat Nusantara sehari-hari.
Tarian yang menceritakan tentang mata pencaharian masyarakat seperti bercocok
tanam, menenun, berkebun dlsb di ceritakan dalam bentuk tarian… sukan tradisi
juga tidak ketinggalan diadakan dan tentu saja cabutan-cabutan bertuah dengan
hadiah2 menarik yang dikendalikan oleh sdri. Yusvina Lasmin, sdri. Nofie Tokan, ibu
Helena, dan ibu Erna Nilan yang membuat umat-umat semakin bergairah
merayakan syukur atas kemerdekaan Indonesia juga dimasukan. Umat yang hadir
melimpah ruah hingga gerai-gerai jualanpun habis. Acara syukur HUT RI ini ditutup
dengan doa penutup oleh uskup Sensi sendiri sekitar pukul 6 petang. Selanjutnya
acara-acara bebas dibuka dan pengemasan tempat seperti pembersihan, buka dekorasi
pentas, susun kembali kursi di stor dlsb… acara selesai penuh sekitar pukul 9 hingga
10 malam.
Penulis
: Elkiano Arakian Sanga Susanto
Komentar
Posting Komentar